SIHIR DUNIA MAYA
Sebuah cerita:
Anna sedang berada
di angkutan umum menuju rumah temannya. Hujan deras di luar sana memukul-mukul
kaca angkutan umum yang di naiki Anna, sekaligus menjadikan bagian dalamnya
berembun. Anna tidak memperhatikan hal tersebut, matanya terus tertuju pada
layar Smartphone di tangan. Sesekali senyum kecil tersungging di bibirnya.
Notifikasi dari berbagai group chat
serta beberapa jejaring sosial terus bermunculan di layar Smartphonenya.
Kiranya senyum itu muncul karena itu. Pada tempat berbeda, Vlo sedang berbaring di kamarnya yang hangat, sebelah tangannya
memeluk boneka Teddy Bear kesayangan sambil sesekali menghapus air mata,
tangannya yang lain memegang sebuah Smartphone model terbaru. Suasana hati Vlo
sendu karena rencana akhir tahun yang telah dirancang dengan beberapa teman dan
yang terkasihnya terancam batal. Rencana akhir tahun tersebut tidak mendapat
dukungan dari orangtua Vlo. Jemari Vlo sibuk menekan beberapa tombol
Smartphone. Kesenduan itu rupanya tidak menghentikan Vlo untuk menulis kicauan
ter-update. Pada saat yang sama, di suatu tempat nun jauh di sana, Jeremi duduk di ruang keluarga dan
tersenyum-senyum senang memperhatikan fotonya pada layar tablet. Foto itu
sengaja diambil oleh salah seorang teman Jeremi siang tadi. Terlihat cool, gagah dan bergaya pikir Jeremi.
Setelah puas memperhatikan foto dan mengagumi dirinya sendiri, tanpa ragu
Jeremi kemudian meng-upload foto
tersebut di akun jejaring sosial miliknya. Sebuah foto Jeremi sedang bergaya
memetik gitar Gibson Les Paul Classic
baru kepunyaannya.
Ada apa dengan
Vlo, Anna, Jeremi dan mungkin sebagian besar kita?
Merasa familiar dengan cerita di atas?
Merasa menjadi salah satunya? Ya…Jujur atau tidak, diakui atau tidak, sebagian
besar kita adalah manusia modern abad digital yang telah berubah menjadi
manusia modern maniak sosial media. Dunia maya seolah telah menjadi dunia
kedua, tempat menjalin hubungan, membentuk citra dan memperoleh sesuatu (inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah social
networking/jejaring sosial). Tidak satupun hari yang rasa-rasanya dilewati
tanpa aktifitas update status, upload foto, like dan follow sebuah
berita atau akun, sekedar say hello
dan memberikan komentar, atau diam-diam sekedar “mengintip” dan “memata-matai”
kehidupan seseorang, melalui apa yang di share
di dunia maya. Pernahkah satu hari saja tanpa aktivitas-aktivitas tersebut?
Tidak peduli sedang senang, sedih, galau, jatuh cinta, makan, tidur, traveling, backpacker-an, shopping,.,pokokeee…every day is social media day.
Kita adalah Manusia muda era digital
yang semakin jarang memanfaatkan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung,
alih-alih mengakses jejaring sosial. Bukankah menjadi hal yang biasa ketika
kenyataannya seorang teman lebih mudah dihubungi melalui mention di akun twitter dibandingkan menunggu balasan SMS? Bukankah
hal yang lumrah ditemui, seorang teman yang lebih memilih duduk terpaku di
depan laptop dan menunggu lawan bicaranya online
untuk menyampaikan pesan, daripada bertemu secara langsung? Kita adalah
manusia modern yang telah berubah menjadi manusia dunia maya, dan terjebak
dalam pusaran pesonanya. Menjadi manusia online
atau on the line kalau boleh
meminjam istilah favorit Vince Vaughn dalam film the internship. Inikah
dunia yang lebih baik itu?
Adalah sebuah pemandangan yang biasa
menyaksikan seseorang melakukan interaksi dengan berbagai media sekaligus.
Dengan sebuah gadget di tangan,
seseorang seolah membuka Facebook pada setiap kesempatan yang dimiliki,
berkicau di Twitter seolah mereka adalah wartawan, yang siap membagikan setiap
hal kecil yang terlintas di kepala, dan pada saat yang sama, juga mungkin
menyalakan laptop dan berinteraksi dengan puluhan tab yang berbeda, menjawab email, atau whatsaap-an. Memiliki akun
Facebook, Twitter, Path, Instagram seolah sudah menjadi keharusan, sebanding
dengan keharusan memiliki handphone. Kehadiran beragam gadget
dengan aplikasi yang sesuai, kiranya turut menfasilitasi tumbuh dan
berkembangnya gejala ini. Jejaring sosial sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari kehidupan kita manusia muda era digital. Kehadirannya
menggurita dan meninggalkan jejak dimana-mana. Tidak heran, jika Indonesia
adalah pengakses Facebook terbanyak ke-4 di dunia, tidak heran jika Indonesia
adalah peringkat ke-5 pengguna twitter terbanyak di dunia, umumnya didominasi
oleh remaja. Berjuta-juta manusia muda mengakses Facebook, dan twitter setiap
harinya, seperti semut yang mengerubungi gula. Apabila ditambahkan dengan
jejaring sosial lainnya seperti Google+, Instagram, Tumblr, Myspace,
Friendster, Path, Koprol, dan lain sebagainya, tentunya jumlah ini akan semakin
berlipat ganda bukan?
Do you know?
Ada 63 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012, pada tahun 2013 jumlah ini diperkirakan
menembus angka 82 juta pengguna, 95% diantaranya menggunakan internet untuk
mengakses jejaring sosial. Ada 19.5 juta pengguna twitter aktif di Indonesia,
terbanyak ke-5 di dunia. Ada 700.000 pengguna Path, 10 juta pengguna Line, 3,4
juta pengguna Google+ dan 1 juta pengguna Linkedlin di Indonesia. Ada 5700
jumlah tweet setiap detiknya. Jumlah ini dapat mengisi 335 halaman buku setiap
hari, 122.275 halaman buku pertahun. Di seluruh dunia, lebih dari 850
juta foto dan 8 juta video diupload
setiap bulan di Facebook, lebih dari 1 miliar konten dishare setiap minggu, lebih dari 2,5 event di buat setiap bulan,
lebih dari 25 juta pengguna aktif dalam grup, dan lebih dari 30 juta pengguna
mengakses Facebook secara mobile.
Ada 294 milyar email yang dikirim setiap harinya. Its real….
What wrong?
1.
Wasting the time
Jejaring sosial memberikan seseorang
kesibukan semu. Bagaimana tidak, seseorang boleh jadi mengecek notifikasi
Facebook dan Twitter hampir setiap lima menit sekali, bahkan mungkin lebih
sering daripada itu. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk aktivitas update status, upload foto, membalas dan memberikan komentar misalnya. Bila
dihitung, jumlah waktu yang dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas ini boleh jadi
sangat mencengangkan sehingga mampu membuat mulut menganga lebar. Jejaring
sosial sungguh merupakan pengalih perhatian dan pembuang waktu nomor wahid.
2.
Social media addicted
Aktivitas mengakses jejaring sosial yang
dilakukan berulang-ulang menjadikannya seperti candu yang menuntut untuk selalu
dipenuhi dan dipuaskan. Pada akhirnya akan mempengaruhi suasana hati.
Konsekuensinya adalah perasaan uring-uringan, galau, tidak mood, dan
kebosanan akut apabila tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas
semu di dunia maya tersebut. Maka tidak heran jika seorang penulis pernah
mengatakan bahwa jejaring sosial adalah
Zat adiktif yang kumulatif.
3.
Hilangnya budaya
malu
Berbagai perasaan-perasaan,pikiran-pikiran
dan aktivitas-aktivitas paling pribadipun diungkapkan secara online melalui jejaring sosial. Budaya
malu yang seharusnya menjadi filter bagi segala tindakan manusia, semakin
terkikis dengan menjamurnya jejaring sosial. Bukankah amat banyak foto-foto
provokatif yang tidak layak dikonsumsi oleh publik dengan polosnya di umbar ke
dunia maya. Tidak jarang juga informasi-informasi pribadi yang kita bagikan
secara sukarela tanpa memikirkan akibat-akibat dari tersebarnya informasi
tersebut.
4.
Munculnya sifat
narsis
Jejaring sosial menumbuh dan
mengembangkan sikap ke-akuan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh jejaring
sosial menjadikan penggunanya tumbuh dan berkembang menjadi sosok-sosok pencari
dan pemuja perhatian. Segala upaya dilakukan untuk selalu eye catching, sehingga menjadi center
of attention. Bukan tidak mungkin seseorang sengaja berbohong di jejaring
sosial untuk membentuk citra tertentu. Status palsu, upload foto dan simbol-simbol unik sering digunakan untuk itu. Am I false?
5.
Munculnya sikap
tidak peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar
Kegiatan tegur sapa, senyum dan obrolan
hangat dalam dunia nyata seolah menjadi barang langka pada saat ini. Adalah Pemandangan
yang biasa melihat seseorang yang sibuk sendiri dan tidak memperhatikan orang
lain di angkutan umum, di antara teman dalam kelompok, maupun di antara
keluarga karena fisik dan pikirannya tersita oleh media sosial. Miris melihat
seseorang yang duduk berdekatan dengan orang lain tanpa berinteraksi
sedikitpun, seolah tidak ada orang lain yang berada di sekitarnya.
How to Handle?
1.
Mulailah
menetapkan prioritas
Jejaring sosial dengan kekuatan sihir,
hipnotis dan pesonanya seringkali menjadikan kita tidak menyadari bahwa kita
telah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan aktivitas ini, yang nyatanya
tidak sepenting itu. Sesungguhnya ada banyak kegiatan-kegiatan
lain yang seharusnya menjadi prioritas, ada banyak tugas pada daftar deadline, ada banyak buku baru pada
daftar tunggu, ada banyak kegiatan ekstrakurikuler yang belum diikuti, ada
teman-teman yang perlu dikunjungi, ada teman-teman baru yang menunggu untuk
ditemui, dan ada keluarga yang menunggu untuk disapa dan diperhatikan.
2.
Miliki agenda
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
semua aktivitas terkait jejaring sosial ini jika digunakan sewajarnya, tanpa
mengganggu aktivitas-aktivitas lainnya, dan tidak berubah menjadi sebuah
kebutuhan yang wajib dipenuhi. Tetapkan waktu-waktu khusus untuk mengakses
jejaring sosial, membuka notifikasi Facebook, membuka Timeline Twitter,
mengecek email, dan lain sebagainya.
3.
Tetapkan
waktu-waktu disconnected
Berhenti sejenak dari koneksi dunia maya
kadang-kadang diperlukan. Miliki satu hari saja dalam sebulan tanpa koneksi
internet sama sekali. Refleksikan apa yang telah didapatkan selama ini melalui
jejaring sosial. Apakah jejaring
sosial benar-benar memberikan dampak positive bagi kehidupan, atau hanya
aktivitas yang membuang-buang waktu.
Apakah waktu yang digunakan untuk mengakses jejaring sosial telah sesuai
porsinya atau terlalu berlebihan sehingga harus dipangkas sedemikian rupa.
Waktu-waktu disconnected ini
diperlukan untuk melakukan evaluasi terhadap diri sendiri.
4.
Semakin dekat
dengan teman-teman dan keluarga
Bagaimanapun efektif dan efisiennya
komunikasi melalui dunia maya, interaksi langsung seyogyanya masih diperlukan.
Kebersamaan dengan orang-orang terdekat tidak akan mampu terwakili hanya
melalui komunikasi dunia maya. Jejaring sosial mungkin bisa mengirimkan jenis
data apapun, tetapi belum tentu mahir menyampaikan makna. Makna yang
sesungguhnya.
Referensi:
Juju,
D & Julianta, F. (2010). Hitam Putih
Facebook. Jakarta: Elekmedia Komputindo.
Darma,
Jarot, S. Ananda, S. (2009). Buku Pintar Menguasai Internet. Cet ke 1. Jakarta: Media Kita
Gunarsa,
S,D. (2004). Bunga Rampai Psikologi
Perkembangan Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulya
Hidayat,
T. (2009). Lebih Dekat Dengan Facebook.
Jakarta: Elexmedia komputindo.
Majalah
inspira.Volume 1. 2013
www.apjii.or.id