Selasa, 30 September 2014

Sihir Dunia Maya


SIHIR DUNIA MAYA

Sebuah cerita:
Anna sedang berada di angkutan umum menuju rumah temannya. Hujan deras di luar sana memukul-mukul kaca angkutan umum yang di naiki Anna, sekaligus menjadikan bagian dalamnya berembun. Anna tidak memperhatikan hal tersebut, matanya terus tertuju pada layar Smartphone di tangan. Sesekali senyum kecil tersungging di bibirnya. Notifikasi dari berbagai group chat serta beberapa jejaring sosial terus bermunculan di layar Smartphonenya. Kiranya senyum itu muncul karena itu. Pada tempat berbeda, Vlo sedang berbaring di kamarnya yang hangat, sebelah tangannya memeluk boneka Teddy Bear kesayangan sambil sesekali menghapus air mata, tangannya yang lain memegang sebuah Smartphone model terbaru. Suasana hati Vlo sendu karena rencana akhir tahun yang telah dirancang dengan beberapa teman dan yang terkasihnya terancam batal. Rencana akhir tahun tersebut tidak mendapat dukungan dari orangtua Vlo. Jemari Vlo sibuk menekan beberapa tombol Smartphone. Kesenduan itu rupanya tidak menghentikan Vlo untuk menulis kicauan ter-update. Pada saat yang sama, di suatu tempat nun jauh di sana, Jeremi duduk di ruang keluarga dan tersenyum-senyum senang memperhatikan fotonya pada layar tablet. Foto itu sengaja diambil oleh salah seorang teman Jeremi siang tadi. Terlihat cool, gagah dan bergaya pikir Jeremi. Setelah puas memperhatikan foto dan mengagumi dirinya sendiri, tanpa ragu Jeremi kemudian meng-upload foto tersebut di akun jejaring sosial miliknya. Sebuah foto Jeremi sedang bergaya memetik gitar Gibson Les Paul Classic baru kepunyaannya.
Ada apa dengan Vlo, Anna, Jeremi dan mungkin sebagian besar kita?
Merasa familiar dengan cerita di atas? Merasa menjadi salah satunya? Ya…Jujur atau tidak, diakui atau tidak, sebagian besar kita adalah manusia modern abad digital yang telah berubah menjadi manusia modern maniak sosial media. Dunia maya seolah telah menjadi dunia kedua, tempat menjalin hubungan, membentuk citra dan memperoleh sesuatu (inilah yang kemudian dikenal dengan istilah social networking/jejaring sosial). Tidak satupun hari yang rasa-rasanya dilewati tanpa aktifitas update status, upload foto, like dan follow sebuah berita atau akun, sekedar say hello dan memberikan komentar, atau diam-diam sekedar “mengintip” dan “memata-matai” kehidupan seseorang, melalui apa yang di share di dunia maya. Pernahkah satu hari saja tanpa aktivitas-aktivitas tersebut? Tidak peduli sedang senang, sedih, galau, jatuh cinta, makan, tidur, traveling, backpacker-an, shopping,.,pokokeee…every day is social media day.
Kita adalah Manusia muda era digital yang semakin jarang memanfaatkan kesempatan untuk berinteraksi secara langsung, alih-alih mengakses jejaring sosial. Bukankah menjadi hal yang biasa ketika kenyataannya seorang teman lebih mudah dihubungi melalui mention di akun twitter dibandingkan menunggu balasan SMS? Bukankah hal yang lumrah ditemui, seorang teman yang lebih memilih duduk terpaku di depan laptop dan menunggu lawan bicaranya online untuk menyampaikan pesan, daripada bertemu secara langsung? Kita adalah manusia modern yang telah berubah menjadi manusia dunia maya, dan terjebak dalam pusaran pesonanya. Menjadi manusia online atau on the line kalau boleh meminjam istilah favorit Vince Vaughn dalam film the internship. Inikah dunia yang lebih baik itu?
Adalah sebuah pemandangan yang biasa menyaksikan seseorang melakukan interaksi dengan berbagai media sekaligus. Dengan sebuah gadget di tangan, seseorang seolah membuka Facebook pada setiap kesempatan yang dimiliki, berkicau di Twitter seolah mereka adalah wartawan, yang siap membagikan setiap hal kecil yang terlintas di kepala, dan pada saat yang sama, juga mungkin menyalakan laptop dan berinteraksi dengan puluhan tab yang berbeda, menjawab email, atau whatsaap-an. Memiliki akun Facebook, Twitter, Path, Instagram seolah sudah menjadi keharusan, sebanding dengan keharusan memiliki handphone. Kehadiran beragam gadget dengan aplikasi yang sesuai, kiranya turut menfasilitasi tumbuh dan berkembangnya gejala ini. Jejaring sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kita manusia muda era digital. Kehadirannya menggurita dan meninggalkan jejak dimana-mana. Tidak heran, jika Indonesia adalah pengakses Facebook terbanyak ke-4 di dunia, tidak heran jika Indonesia adalah peringkat ke-5 pengguna twitter terbanyak di dunia, umumnya didominasi oleh remaja. Berjuta-juta manusia muda mengakses Facebook, dan twitter setiap harinya, seperti semut yang mengerubungi gula. Apabila ditambahkan dengan jejaring sosial lainnya seperti Google+, Instagram, Tumblr, Myspace, Friendster, Path, Koprol, dan lain sebagainya, tentunya jumlah ini akan semakin berlipat ganda bukan?
Do you know?
Ada 63 juta pengguna internet di Indonesia pada tahun 2012,  pada tahun 2013 jumlah ini diperkirakan menembus angka 82 juta pengguna, 95% diantaranya menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Ada 19.5 juta pengguna twitter aktif di Indonesia, terbanyak ke-5 di dunia. Ada 700.000 pengguna Path, 10 juta pengguna Line, 3,4 juta pengguna Google+ dan 1 juta pengguna Linkedlin di Indonesia. Ada 5700 jumlah tweet setiap detiknya. Jumlah ini dapat mengisi 335 halaman buku setiap hari, 122.275 halaman buku pertahun. Di seluruh dunia, lebih dari 850 juta foto dan 8 juta video diupload setiap bulan di Facebook, lebih dari 1 miliar konten dishare setiap minggu, lebih dari 2,5 event di buat setiap bulan, lebih dari 25 juta pengguna aktif dalam grup, dan lebih dari 30 juta pengguna mengakses Facebook secara mobile. Ada 294 milyar email yang dikirim setiap harinya. Its real….
What wrong?
1.      Wasting the time
Jejaring sosial memberikan seseorang kesibukan semu. Bagaimana tidak, seseorang boleh jadi mengecek notifikasi Facebook dan Twitter hampir setiap lima menit sekali, bahkan mungkin lebih sering daripada itu. Belum lagi waktu yang dihabiskan untuk aktivitas update status, upload foto, membalas dan memberikan komentar misalnya. Bila dihitung, jumlah waktu yang dihabiskan untuk aktivitas-aktivitas ini boleh jadi sangat mencengangkan sehingga mampu membuat mulut menganga lebar. Jejaring sosial sungguh merupakan pengalih perhatian dan pembuang waktu nomor wahid.
2.      Social media addicted
Aktivitas mengakses jejaring sosial yang dilakukan berulang-ulang menjadikannya seperti candu yang menuntut untuk selalu dipenuhi dan dipuaskan. Pada akhirnya akan mempengaruhi suasana hati. Konsekuensinya adalah perasaan uring-uringan, galau, tidak mood, dan kebosanan akut apabila tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dalam aktivitas semu di dunia maya tersebut. Maka tidak heran jika seorang penulis pernah mengatakan bahwa jejaring sosial adalah Zat adiktif yang kumulatif. 
3.      Hilangnya budaya malu
Berbagai perasaan-perasaan,pikiran-pikiran dan aktivitas-aktivitas paling pribadipun diungkapkan secara online melalui jejaring sosial. Budaya malu yang seharusnya menjadi filter bagi segala tindakan manusia, semakin terkikis dengan menjamurnya jejaring sosial. Bukankah amat banyak foto-foto provokatif yang tidak layak dikonsumsi oleh publik dengan polosnya di umbar ke dunia maya. Tidak jarang juga informasi-informasi pribadi yang kita bagikan secara sukarela tanpa memikirkan akibat-akibat dari tersebarnya informasi tersebut.
4.      Munculnya sifat narsis
Jejaring sosial menumbuh dan mengembangkan sikap ke-akuan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh jejaring sosial menjadikan penggunanya tumbuh dan berkembang menjadi sosok-sosok pencari dan pemuja perhatian. Segala upaya dilakukan untuk selalu eye catching, sehingga menjadi center of attention. Bukan tidak mungkin seseorang sengaja berbohong di jejaring sosial untuk membentuk citra tertentu. Status palsu, upload foto dan simbol-simbol unik sering digunakan untuk itu. Am I false?
5.      Munculnya sikap tidak peduli terhadap orang lain dan lingkungan sekitar
Kegiatan tegur sapa, senyum dan obrolan hangat dalam dunia nyata seolah menjadi barang langka pada saat ini. Adalah Pemandangan yang biasa melihat seseorang yang sibuk sendiri dan tidak memperhatikan orang lain di angkutan umum, di antara teman dalam kelompok, maupun di antara keluarga karena fisik dan pikirannya tersita oleh media sosial. Miris melihat seseorang yang duduk berdekatan dengan orang lain tanpa berinteraksi sedikitpun, seolah tidak ada orang lain yang berada di sekitarnya.
How to Handle?
1.      Mulailah menetapkan prioritas
Jejaring sosial dengan kekuatan sihir, hipnotis dan pesonanya seringkali menjadikan kita tidak menyadari bahwa kita telah menghabiskan banyak waktu untuk melakukan aktivitas ini, yang nyatanya tidak sepenting itu.  Sesungguhnya ada banyak kegiatan-kegiatan lain yang seharusnya menjadi prioritas, ada banyak tugas pada daftar deadline, ada banyak buku baru pada daftar tunggu, ada banyak kegiatan ekstrakurikuler yang belum diikuti, ada teman-teman yang perlu dikunjungi, ada teman-teman baru yang menunggu untuk ditemui, dan ada keluarga yang menunggu untuk disapa dan diperhatikan.
2.      Miliki agenda
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan semua aktivitas terkait jejaring sosial ini jika digunakan sewajarnya, tanpa mengganggu aktivitas-aktivitas lainnya, dan tidak berubah menjadi sebuah kebutuhan yang wajib dipenuhi. Tetapkan waktu-waktu khusus untuk mengakses jejaring sosial, membuka notifikasi Facebook, membuka Timeline Twitter, mengecek email, dan lain sebagainya.
3.      Tetapkan waktu-waktu disconnected
Berhenti sejenak dari koneksi dunia maya kadang-kadang diperlukan. Miliki satu hari saja dalam sebulan tanpa koneksi internet sama sekali. Refleksikan apa yang telah didapatkan selama ini melalui jejaring sosial. Apakah jejaring sosial benar-benar memberikan dampak positive bagi kehidupan, atau hanya aktivitas yang membuang-buang waktu. Apakah waktu yang digunakan untuk mengakses jejaring sosial telah sesuai porsinya atau terlalu berlebihan sehingga harus dipangkas sedemikian rupa. Waktu-waktu disconnected ini diperlukan untuk melakukan evaluasi terhadap diri sendiri.
4.      Semakin dekat dengan teman-teman dan keluarga
Bagaimanapun efektif dan efisiennya komunikasi melalui dunia maya, interaksi langsung seyogyanya masih diperlukan. Kebersamaan dengan orang-orang terdekat tidak akan mampu terwakili hanya melalui komunikasi dunia maya. Jejaring sosial mungkin bisa mengirimkan jenis data apapun, tetapi belum tentu mahir menyampaikan makna. Makna yang sesungguhnya.

Referensi:
Juju, D & Julianta, F. (2010). Hitam Putih Facebook. Jakarta: Elekmedia Komputindo.
Darma, Jarot, S. Ananda, S. (2009). Buku Pintar Menguasai Internet. Cet ke 1. Jakarta: Media Kita
Gunarsa, S,D. (2004). Bunga Rampai Psikologi Perkembangan Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: BPK Gunung Mulya
Hidayat, T. (2009). Lebih Dekat Dengan Facebook. Jakarta: Elexmedia komputindo.
Majalah inspira.Volume 1. 2013
www.apjii.or.id