Minggu, 19 Oktober 2014

PTSD dalam DSM IV dan DSM V



DSM (Diagnostic & Statistical Manual of Mental Dissorder) merupakan acuan yang digunakan secara universal di Amerika untuk mendiagnosa gangguan kejiwaan. Sampai saat ini, DSM telah mengalami lima kali revisi sejak pertama kali dipublikasikan pada tahun 1952. Edisi terakhir DSM sebelum DSM 5 adalah DSM 4 yang dipublikasikan pada tahun 1994 dan mengalami revisi teks pada tahun 2000 yang disebut DSM 4 TR. (Sy Saeed. 2012: 1). DSM 5 sendiri telah dipublikasikan baru-baru ini, tepatnya pada bulan May 2013. Revisi terakhir DSM ini bukan tanpa kontroversi. DSM 5 justru sedang ramai diperbincangkan pada saat ini dalam dunia psikologi, beberapa kritik tentang DSM 5 pun bermunculan.
 Telaah para ahli terhadap DSM 4 dan DSM 5 menemukan beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan tersebut baik pada penggunaan istilah, kategori gangguan, metode diagnosis, jumlah disorder maupun perubahan-perubahan khusus yang terjadi pada beberapa disorder seperti, perubahan penamaan pada beberapa disorder, kategorikal disorder, dan kriteria diagnosis untuk beberapa jenis disorder. Salah satu disorder yang mengalami perubahan pada DSM V adalah PTSD. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1
PTSD pada DSM 4 dan DSM 5
No
Aspek
DSM 4
DSM 5
1
Klasifikasi
Post traumatic Stress disorder diklasifikasikan di bawah kelompok gangguan kecemasan (anxiety disorder).
Post traumatic Stress disorder diklasifikasikan di bawah kelompok Trauma and Stressor-Related Disorders bersama dengan 6 jenis disorder lainnya.
2
Kriteria
Kriteria PTSD ditetapkan secara general. Reaksi-reaski subjektif termasuk salah satu kriteria PTSD (kriteria A2)
Kriteria stressor (kriteria A) dinyatakan lebih eksplisit dan reaksi-reaksi subjektif (kriteria A2) dihilangkan sebagai kriteria PTSD karena dianggap tidak didukung oleh cukup data penguat.


Tidak ada kriteria terpisah PTSD untuk anak-anak preschool (anak-anak yang berumur 6 tahun atau kurang). Artinya, kriteria PTSD pada DSM IV tidak sensitif terhadap perkembangan anak-anak yang sangat muda.
Tersedia kriteria khusus untuk mengidentifikasi PTSD pada anak-anak preschool.



Simtom-simtom PTSD untuk anak-anak
Simtom A: 1) Kriteria PTSD yang biasanya digunakan untuk orang dewasa hanya digunakan untuk anak-anak yang berusia lebih dari 6 tahun, 2) PTSD dipicu oleh kejadian-kejadian traumatis seperti terancam kematian, cedera serius, dan mengalami kekerasan seksual, tidak termasuk menyaksikan melalui media elektronik, dan 3). trauma bisa dipicu oleh pengasuhan
Simtom B: 1) mengingat kejadian yang mengganggu secara berulang-ulang, 2)mimpi buruk, 3) flashbacks, 4) distress, 5) ditandai oleh adanya reaksi-reaksi psikologis apabila teringat kejadian traumatis
Simtom C: 1) menghindari stimulus-stimulus secara berkepanjangan, dan 2) adanya perubahan-perubahan kognisi yang negatif termasuk emosi negatif dan adanya perilaku menarik diri.
Simtom D: perubahan gairah (semangat) yang ditandai oleh  2 dari gejala gejala berikut: 1) mudah marah, 2) Hypervigilance, 3) mudah kaget, 4) masalah konsentrasi dan 5) masalah tidur
3
Kluster Simtom
Terdiri dari 3 cluster simtom sebagai indikator bagi PTSD yaitu re-experincing, avoiding, dan arousal
Terdiri dari 4 cluster simtom sebagai indikator bagi PTSD yaitu intrusion symptoms (sebelumnya disebut re-experincing), avoidance symptoms (kriteria C), negative alterations in mood and cognition (kriteria D), dan alterations in arousal and reactivity (sebelumnya disebut arousal)
4
Spesifikasi
Dalam DSM-IV-TR, spesifikasi diagnosis PTSD terbagi 2 yaitu akut dan kronis (acute and chronic). PTSD disebut akut apabila gejala berlangsung antara satu dan tiga bulan. Sementara itu, apabila gejala yang berlangsung lebih dari tiga bulan maka disebut sebagai PTSD kronis.
Kedua spesifikasi akut dan kronis telah dihapus dari DSM V. Diagnosis diberikan jika gejala terakhir setidaknya satu bulan dan tidak ada diferensiasi antara PTSD akut dan kronis



Rabu, 01 Oktober 2014

Kualitas Pribadi Konselor


Konseling merupakan salah satu bentuk hubungan yang membantu. Makna bantuan di sini yaitu sebagai upaya untuk membantu orang lain agar ia mampu tumbuh ke arah yang dipilihnya sendiri, mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dan mampu mengahadapi krisis-krisis yang dialami dalam kehidupannya. Tugas konselor adalah menciptakan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan tersebut. 

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan pencapaian optimal dari sebuah hubungan konseling. Salah satu diantaranya adalah konselor as a person.  Bagaimanapun juga, kegiatan konseling  melibatkan interaksi yang intens antara konselor dan klien.  Hubungan mempribadi yang terjadi antara keduanya melibatkan informasi-informasi sensitif dan rahasia yang mungkin sama sekali tidak terungkapkan di luar ruangan konseling.  Suasana nyaman, hangat dan mendukung bagi terciptanya hubungan intens ini tentunya merupakan hal mutlak yang harus ada. Terciptanya suasana ideal seperti itu tentunya melibatkan konselor.  Dengan kata lain, konselor sebagai pribadi dengan segala keunikan karakteristiknya akan mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan konseling.
Teknik dan pengetahuan konseling saja kiranya tidak dianggap cukup untuk mencapai hasil maksimal dalam hubungan konseling. Senada dengan ungkapan Rogers (1961)  yang mengatakan bahwa ciri kepribadian seorang konselor yang efektif lebih penting daripada dasar teori atau keterampilan tekhnik yang dimiliki, lebih jauh lagi George dan Christiani (1981), mengatakan bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi konselor baik positif maupun negatif dalam kegiatan konseling sebagai kegiatan professional,yaitu:
1.     Kualitas Pribadi
2.     Pengetahuan tentang profesi
3.     Keterampilan khusus konseling
Maka keefektifan konseling sebagian besar diantaranya ditentukan oleh kualitas hubungan antara konselor dengan peserta didik. Dilihat dari segi konselor, kualitas hubungan itu bergantung pada kemampuannya dalam menerapkan teknik-teknik konseling dan kualitas pribadinya. Dimana kualitas pribadi konselor merupakan faktor yang sangat penting dalam konseling. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pribadi konsleor menjadi faktor penentu bagi pencapaian konseling yang efektif, disamping faktor pengetahuan tentang dinamika perilaku dan keterampilan terapeutik atau konseling. Menurut Rollo May (1997 ; 165) persamaan pribadi merupakan hal yang penting didalam konseling karena konselor hanya dapat bekerja melalui diri mereka sendiri. Dengan demikian sangat penting dan esensial bagi konselor bahwa dirinya (self) dapat menjadi intrumen yang efektif.
Konselor as a person adalah role model bagi klien.  Oleh karena itu perlu kiranya bagi konselor  untuk memiliki dan menampilkan kualitas-kualitas pribadi tertentu yang pantas untuk menjadikannya sebagai panutan. Dalam konteks bimbingan dan konseling kualitas pribadi konselor  boleh jadi adalah modal utama dalam menjalankan  kegiatan bimbingan konseling yang efektif.  The most effective helper is one who has successfully integrated the personal and scientific part of himself or herself (Cormier & Cormier, 1985). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh konselor.
Ada beberapa karakteristik yang mewakili baiknya kualitas pribadi konselor. Munro (Erman Amti: 1979) mengatakan bahwa meskipun tidak ada pola yang tegas tentang sifat-sifat yang harus dimiliki oleh konselor  yang efektif, seorang konselor sekurang-kurangnya hendaknya memiliki sifat-sifat luwes, hangat, dapat menerima orang lain, terbuka, dapat merasakan penderitaan orang lain, mengenal dirinya sendiri, tidak berpura-pura menghargai orang lain, tidak mau menang sendiri dan obyektif.  Senada dengan ungkapan Munro di atas, Cavanagh, 1982 dalam syamsu Yusuf  menyebutkan secara mendetail karakteristik-karakteristik konselor yang memiliki kepribadian  yang berkualitas sebagai berikut:
1.     Pemahaman diri (self knowledge)
Self knowledge berarti pemahaman yang dimiliki oleh konselor terhadap dirinya, segala tindakannya dan alasan dibalik setiap tindakannya. Pemahaman diri ini diperlukan karena: a) Konselor yang memiliki persepsi yang akurat tentang dirinya cendrung akan memiliki persepsi yang akurat pula tentang orang lain atau klien, b) Konselor yang terampil dalam memahami dirinya juga akan terampil dalam memahami orang lain, c)  Konselor yang memahami dirinya, maka dia akan mampu mengajarkan cara memahami diri itu kepada orang lain, d) Pemahaman tentang diri memungkinkan konselor untuk dapat merasa dan berkomunikasi secara jujur dengan klien pada saat proses konseling.
2.     Kompeten (competent)
Kompeten yang dimaksud di sini adalah bahwa konselor memiliki kualitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan moral sebagai pribadi yang berguna. Salah satu hal yang membedakan hubungan persahabatan dengan hubungan konseling adalah kompetensi yang dimiliki oleh konselor.
3.     Kesehatan psikologis
Konselor dituntut memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik dari kliennya. Kesehatan psikologis menjadi penting karena ini menjadi dasar bagi pemahaman konselor terhadap perilaku dan keterampilannya. Kesehatan psikologis konselor yang baik sangat berguna bagi hubungan konseling. Konselor yang kesehatan psikologisnya baik memiliki kualitas sebagai berikut:  a)  Memperoleh pemuasan kebutuhan rasa aman, cinta, kekuatan, dan seks, b) Dapat mengatasi masalah-masalah pribadi yang dihadapinya, c)   Menyadari kelemahan atau keterbatasan kemampuan dirinya dan d) Tidak hanya berjuang untuk hidup tetapi juga menciptakan kehidupan yang lebih baik.
4.     Dapat dipercaya (Trustworthiness)
Kualitas ini berarti konselor tidak menjadi ancaman dan penyebab kecemasan bagi klien. Kualitas konselor yang dapat dipercaya menjadi penting karena beberapa sebab: a) Esensi tujuan konseling adalah mendorong klien untuk mengemukakan masalah dirinya. Jika klien tidak memiliki rasa percaya kepada konselor maka rasa frustasilah yang menjadi hasil konseling, b)  Klien dalam konseling perlu mempercayai karakter dan motivasi konselor, c) Apabila klien mendapat penerimaan dan kepercayaan dari konselor maka akan berkembang dalam dirinya sikap percaya terhadap dirinya sendiri. 
5.      Jujur (honesty)
Jujur di sini berarti bahwa konselor itu bersikap transparan  (terbuka), auntentik, dan asli (genuine). Sikap jujur menjadi penting dalam konseling karena hal-hal sebagai berikut: a) Sikap keterbukaan memungkinkan konselor dan klien untuk menjalin hubungan psikologis yang lebih dekat satu sama lainnya di dalam proses konseling dan b)  Kejujuran memungkinkan konselor untuk memberikan umpan balik secara obyektif kepada klien. 
6.      Kekuatan (Strength)
Kekuatan konselor sangat penting dalam konseling karena dengan hal itu klien akan merasa amanKonselor yang memiliki kekuatan cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku berikut: a)  Dapat membuat batasan waktu yang pantas dalam konseling, b)  Bersifat fleksibel, dan c)  Memiliki identitas diri yang jelas
7.     Bersikap hangat
Bersikap hangat berarti ramah, penuh perhatian, dan memberikan kasih sayang. Melalui konseling klien ingin mendapatkan rasa hangat dan berbagi dengan konselor.
8.     Actives responsiveness
Keterlibatan konselor dalam proses konseling bersifat dinamis, tidak pasif. Melalui respon yang aktif, konselor dapat mengkomunikasikan perhatian diri terhadap kebutuhan klien. Konselor dapat mengjukan pertanyaan yang tepat, memberikan umpan balik yang bermanfaat, memberi informasi yang berguna, gagasan baru, berdiskusi tentang cara mengambil keputusan yang tepat, dan membagi tanggung jawab dengan klien dalam proses konseling.
9.     Sabar (Patience)
Melalui sikap sabar dari konselor saat proses konseling akan membantu klien untuk mengembangkan dirinya secara alami. Sikap sabar konselor menunjukkan lebih memperhatikan klien daripada hasilnya. Konselor yang sabar cenderung menampilkan kualitas sikap dan perilaku yang tidak tergesa-gesa.
10. Kepekaan (Sensitivity)
Kualitas kepekaan berarti bahwa konselor menyadari tentang adanya dinamika psikologis yang tersebunyi atau sifat-sifat mudah tersinggung, baik pada klien maupun dirinya sendiri. Klien yang datang untuk meminta bantuan konselor pada umumnya tidak menyadari masalah yang sebenarnya mereka hadapi. Bahkan ada yang tidak menyadari bahwa dirinya bermasalah. Pada diri mereka hanya nampak gejala-gejalanya (pseudo masalah), sementara yang sebenarnya tertutup oleh perilaku pertahanan dirinya. konsleor yang sensitif akan mampu mengungkap atau menganasis apa masalah sebenarnya yang dihadapi klien. Konselor yang sensitif memiliki kualitas perilaku sebagai berikut: (a) sensitif terhadap reaksi terhadap dirinya sendiri, (b) mengetahui kapan, dimana, dan berapa lama mengungkap masalah klien (probing), (c) mengajukan pertanyaan tentang persepsi klien tentang masalah yang dihadapinya, (d) sensitif terhadap sifat-sifat yang mudah menyinggung dirinya.
11. Kesadaran Holistik (Holistic Awareness)
Pendekatan holistik dalam konseling berarti bahwa konselor memahami klien secara utuh dan tidak mendekatinya secara serpihan. Namun begitu bukan berarti bahwa konselor seorang ahli dalam segala hal, di sini menunjukkan bahwa konselor perlu memahami adanya berbagai dimensi yang menimbulkan masalah klien, dan memahami bagaimana dimensi yang satu memberi pengaruh terhadap dimensi yang lainnya. Dimensi-dimensi tersebut meliputi: fisik, intelektual, emosi, sosial, seksual, dan moral spritual.

Bimbingan Kelompok: Konseling Kelompok dan Psikoterapi Kelompok


A.    Perbedaan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok
Bimbingan dan konseling merupakan sebuah respon terhadap kebutuhan manusia. Jauh sebelum bimbingan konseling dikenal sebagaimana seperti sekarang, sesungguhnya kegiatan bimbingan dan konseling tersebut telah berlangsung. Literatur iman tertentu serta ribuan bukti menunjukan bahwa dari abad ke abad manusia selalu meminta nasihat, petunjuk, dan bimbingan orang lain yang dianggap memiliki pengetahuan yang superior, wahyu atau pengalaman unggul. Pada peradaban kuno, para filusuf, imam kuil, pendeta kerajaan, peramal dan para wakil keilahian dan agama dipercayai memegang fungsi penting untuk memberikan nasihat dan menawarkan konseling. Bentuk primitif konselor pada masa kini dapat ditemui dalam sosok-sosok kepala suku, tabib, dukun, peramal yang kepadanya masyarakat meminta nasehat, petunjuk dan bimbingan untuk pertanyaan yang mengganggu ketenangan atau problem sehari-hari, atau prediksi untung rugi di masa depan (Gibson & Mitchell: 2010).
Sebagai sebuah respon terhadap kebutuhan manusia, keberadaan bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan adalah menyangkut upaya menfasilitasi peserta didik agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan moral spiritual. Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, peserta didik memerlukan bimbingan karena kurangnya pemahaman/wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan peserta didik tidak selalu berlangsung secara mulus atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut. Diperlukan upaya bimbingan dan konseling sebagai sebuah upaya untuk membantu peserta didik (Departemen Pendidikan Nasional. 2007).
Dalam pelaksanaannya, kegiatan bimbingan dan konseling dapat dilakukan secara individual dan kelompok. Format kelompok digunakan pada situasi-situasi tertentu yang tidak dapat ditangani secara individual. Adapun sasaran layanan dalam format kelompok pada hakikatnya sama dengan sasaran dalam bimbingan pada umumnya yakni individu. Untuk mengupayakan pemberian bantuan yang optimal bagi peserta didik, penting bagi konselor kelompok profesional untuk membedakan antara penggunaaan bimbingan kelompok dan konseling kelompok dalam memberikan layanan bantuan pada individu atau peserta didik. (Rusmana. 2009: 13).
Bimbingan kelompok dapat didefenisikan sebagai suatu proses pemberian bantuan kepada individu melalui suasana kelompok yang memungkinkan setiap anggota untuk belajar berpartisipasi aktif dan berbagi pengalaman dalam upaya pengembangan wawasan, sikap dan atau keterampilan yang diperlukan dalam upaya mencegah timbulnya masalah atau dalam upaya pengembangan pribadi (Rusmana. 2009: 13). Adapun konseling kelompok, dapat didefenisikan sebagai suatu upaya pemberian bantuan kepada individu (konseli) yang dilakukan dalam suasana kelompok, bersifat pencegahan dan penyembuhan, serta bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam berbagai aspek perkembangan dan pertumbuhannya (Rusmana. 2009: 29).
Merujuk kepada defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya bimbingan kelompok, dan konseling kelompok merupakan bentuk bantuan kepada konseli dengan memanfaatkan dinamika yang terjadi dalam kelompok. Meskipun demikian, seperti telah disebutkan di atas, keduanya memiliki karakteristik-karakteristik khusus tertentu yang membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut boleh jadi dari segi tujuan dan fungsi, metode dan teknik yang digunakan dan lain sebagainya. Untuk dapat memahami perbedaan antara bimbingan kelompok dan konseling kelompok secara terperinci, berikut dijabarkan perbedaan keduanya ditinjau dari berbagai aspek (Rusmana. 2009: 14).
Tabel 1
Perbedaan Bimbingan Kelompok dan Konseling Kelompok

No
Aspek
Bimbingan Kelompok
Konseling Kelompok
1
Tujuan dan Fungsi
Pencegahan masalah
Pengembangan pribadi
Pemecahan masalah pribadi
Pencegahan masalah
Pengembangan pribadi
2
Jumlah anggota
2-15 orang
2-7 orang
3
Karakteristik anggota
Heterogen-homogen
Homogen
4
Bentuk kegiatan
Permainan-instruksional
Transaksional
5
Peran pembimbing
Fasilitatot-tutor
Fasilitator-terapis
6
Peran anggota
Aktif membahas topik yang relevan dan bermanfaat bagi pencegahan masalah atau pengembangan pribadi
Aktif membahas masalah pribadi serta berbagi dan memecahkan masalah orang lain atau dalam upaya pengembangan pribadi anggota
7
Suasana interaksi
Interaksi multi arah
Aktif bernuansa intelektual, pencerahan dan pendalaman
Interaksi multi arah
Aktif bernuansa itelektual, afeksional dan emosional
8
Teknik yang digunakan
Sosio-edukasional
Psiko-edukasional
9
Sifat dan materi pembicaraan
Masalah umum (melebar)
Tidak memuat rahasia pribadi
Masalah pribadi (masalah yang dibahas mendalam)
Memuat rahasia pribadi
10
Lama dan frekuensi kegiatan
Sesuai dengan tingkat pemahaman anggota tentag topic yang dibahas
Sesuai dengan tingkat ketuntasan pemecahan masalah individual anggota
11
Evaluasi
Keterlibatan, pemahaman isi dan dampak terhadap anggota kelompok
Keterlibatan, kedalaman dan dampak terhadap ketuntasan pemecahan masalah individual anggota.

B.     Perbedaan Bimbingan dan Konseling Kelompok dengan Psikoterapi Kelompok
Sama halnya dengan bimbingan dan konseling kelompok, psikoterapi sebagai salah satu bentuk bantuan yang diberikan kepada individu juga dapat dilaksanakan dalam format individual dan kelompok. Pada dasarnya terdapat banyak persamaan antara konseling dan psikoterapi sehingga 1) konseling dan psikoterapi tidak dapat dibedakan secara jelas, 2) konselor sering mempraktekkan apa yang oleh psikoterapis dipandang sebagai psikoterapi, dan 3) psikoterapis sering mempraktekkan apa yang oleh konselor dipandang sebagai konseling.  Meskipun demikian, bidang-bidang ini tetap berbeda dan memiliki kekhasannya masing-masing. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara konseling dan psikoterapi. 
1.   Konseling pada umumnya menangani orang normal, sedangkan psikoterapi terutama menangani orang yang mengalami ganguan psikologis. 
2.     Konseling lebih edukatif, suportif, berorientasi sadar dan berjangka pendek, sedangkan psikoterapi lebih rekonstruktif, konfrontatif, berorientasi tak sadar, dan berjangka panjang.
3.  Konseling lebih terstruktur dan terarah pada tujuan yang terbatas dan konkret, sedangkan psikoterapi sengaja dibuat lebih ambigu dan memiliki tujuan yang berubah-ubah dan berkembang terus. (Cavanagh: 1982 dalam Didi Tarsidi) .
Lebih jauh lagi, perbedaan antara bimbingan, konseling dan psikoterapi (dalam hal ini adalah bimbingan, konseling dan psikoterapi dengan format kelompok) dapat dilihat pada jabaran berikut ini (Yalom. 1985 dalam Didi Tarsidi)
No
Aspek
Bimbingan Kelompok
Konseling Kelompok
Psikoterapi Kelompok
1
Tujuan dan Fungsi
Pencegahan masalah
Pengembangan pribadi
Pemecahan masalah pribadi
Pencegahan masalah
Pengembangan pribadi
Sengaja dibuat lebih ambigu dan memiliki tujuan yang berubah-ubah dan berkembang terus.
2
Jumlah anggota
2-15 orang
2-7 orang
5 hingga 10 orang, tetapi jumlah yang ideal untuk kelompok terapi interaksional adalah 7 atau 8 orang. 
3
Karakteristik anggota
Heterogen-homogen
Homogen
Heterogen-homogen
Terbuka-tertutup
4
Bentuk kegiatan
Permainan-instruksional
Transaksional
Rekonstruktif, konfrontatif, berorientasi tidak sadar, dan berjangka panjang
5
Peran pembimbing
Fasilitatot-tutor
Fasilitator-terapis
Menciptakan dan memelihara kelompok
Membangun budaya kelompok
Activasi dan iluminasi
6
Peran anggota
Aktif membahas topik yang relevan dan bermanfaat bagi pencegahan masalah atau pengembangan pribadi
Aktif membahas masalah pribadi serta berbagi dan memecahkan masalah orang lain atau dalam upaya pengembangan pribadi anggota
setiap anggota harus terus-menerus berkomunikasi dan berinteraksi dengan anggota-anggota lainnya. Tanpa memandang pertimbangan-pertimbangan lain, perilaku aktual dari anggota kelompok menentukan nasib kelompok itu
7
Suasana interaksi
Interaksi multi arah
Aktif bernuansa intelektual, pencerahan dan pendalaman
Interaksi multi arah
Aktif bernuansa itelektual, afeksional dan emosional
Interaksi dan komunikasi terus menerus
Aktif
8
Teknik yang digunakan
Sosio-edukasional
Psiko-edukasional
Format khusus
9
Sifat dan materi pembicaraan
Masalah umum (melebar)
Tidak memuat rahasia pribadi
Masalah pribadi (masalah yang dibahas mendalam)
Memuat rahasia pribadi
Menangani orang yang mengalami ganguan psikologis. 
10
Lama dan frekuensi kegiatan
Sesuai dengan tingkat pemahaman anggota tentag topic yang dibahas
Sesuai dengan tingkat ketuntasan pemecahan masalah individual anggota
80 hingga 90 menit
satu hingga lima kali seminggu
11
Evaluasi
Keterlibatan, pemahaman isi dan dampak terhadap anggota kelompok
Keterlibatan, kedalaman dan dampak terhadap ketuntasan pemecahan masalah individual anggota.
-